Hari ini, tepat 40 tahun yang lalu, di , , mengalami peristiwa dahsyat dengan meletusnya ditanggal 23 Juli 1983. Letusan ini mengakibatkan dampak yang cukup mengerikan bagi dua per tiga wilayah yang terbakar oleh ini.

, yang dalam Bahasa Bugis berarti Korek Api, telah menjadi tempat berdiamnya gunung berapi ini sebelum akhirnya pulau terbentuk akibat letusannya. Erupsi ini menjadi yang terakhir bagi Gunung Colo sepanjang catatan sejarah. Pada saat erupsi, suasana menjadi mencekam dengan pergolakan massa gas menyala dan suhu tinggi, serta adanya bagian-bagian padat yang memijar.

Puncak dahsyatnya letusan terjadi ketika pulau ini pecah dan dihancurkan oleh apa yang disebut “nuee ardente” atau awan panas. Abu dan semburan awan setinggi 15.000 meter bahkan mencapai Pulau Laut, yang terletak sekitar 900 km jauhnya di sebelah tenggara Kalimantan.

Dampak dari letusan ini sangat mengerikan, dengan 90 persen sisa pulau Una-una tertutupi abu setebal 2-6 meter. Seluruh rumah, tanaman, hewan, ikan karang, dan ikan-ikan dekat pantai musnah akibatnya, kecuali di sepanjang jalur sempit di bagian timur pulau. Beruntung, semua penduduk yang berjumlah sekitar 7.000 jiwa berhasil dievakuasi dari pulau tepat pada waktunya berkat perintah dari ahli geologi, Profesor John Ario Katili, yang saat itu menjabat sebagai Direktur Jenderal Pertambangan Umum, Departemen Pertambangan.

“Suatu prestasi yang mengagumkan,” demikian diungkapkan oleh Anthony J. Whitten, Muslimini Mustapa, dan Gregory S. Henderson dalam buku mereka berjudul “Ekologi Sulawesi,” yang diterbitkan oleh Gadjah Mada University Press pada tahun 1987 dengan prakata dari Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup, Emil Salim. Dalam buku tersebut, letusan Gunung Colo di Pulau Una-una menjadi bab pembuka yang menjelaskan latar belakang fisik, biologi, dan manusia di wilayah tersebut.

Gunungapi Colo, selain pada tahun 1983, juga tercatat pernah sekali sebelumnya pada tahun 1898. Letusan ini diketahui memuntahkan abu sebanyak 2,2 km3 yang menutupi areal seluas 303.000 km2, bahkan jaraknya mencapai hingga 800 km ke batas antara Serawak dan Kalimantan Timur.

Sebelum terjadi letusan dahsyat pada 23 Juli 1983, beberapa hari sebelumnya, sejumlah besar gempa bumi sampai 100 kali sehari mengguncang Pulau Una-una. Pada 18 Juli 1983, juga terjadi semburan air tanah yang besar akibat air yang terperangkap di bawah gunung api yang panas dan kemudian meledak menjadi uap bertekanan tinggi, menyebabkan reruntuhan batuan setinggi 500 meter. Letusan magma pertama kemudian terjadi pada pagi hari tanggal 23 Juli 1983, menyemburkan jambul abu dan bahan lain setinggi 1000 meter ke udara.

Peristiwa ini menjadi titik penting dalam sejarah geologi Sulawesi dan meninggalkan kenangan mendalam bagi penduduk setempat.