Kolaborasi antara Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Sulawesi Tengah dan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kabupaten Morowali Utara () menandakan langkah awal pencatatan warisan Suku Taa sebagai Kekayaan Intelektual Komunal ().

Suku Taa, yang mendiami wilayah Morowali Utara, memiliki kekayaan yang beragam, termasuk ritual adat, pengetahuan tradisional, dan sumber daya genetik. Upaya pencatatan ini bertujuan untuk melindungi dan melestarikan warisan budaya tersebut, sekaligus membuka peluang untuk pengembangan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat Suku Taa.

Hal tersebut diketahui, saat Kanwil Sulteng yang diwakili pejabat fungsional analis KI, Ali, Herry dan Beldy melaksanakan kunjungan koordinasi bersama Kepala Bidang Kebudayaan Disdikbud , Eli Sudrajab Petalolo, di Ruangan Kerjanya. Dinas Dikbud, Jalan. Kompleks Perkantoran Bumi Nangka Kolonodale, Selasa, (6/2/2024) pagi.

Diketahui, KIK sendiri merupakan kekayaan intelektual yang berupa Ekspresi Budaya Tradisional (EBT), Pengetahuan Tradisonal (PT), Sumber Daya Genetik (SDG), Potensi Indikasi Geografis dan Potensi Indikasi Asal.

Ali menyebut, bahwa KIK merupakan salah satu program unggulan dari Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) yang dimaksudkan bukan hanya sebagai upaya melindungi warisan budaya, namun turut menjadi salah satu upaya guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi bagi daerah khususnya kesejahteraan masyarakat.

Ia pun mengaku bahwa Kabupaten Morut memiliki banyak potensi KIK, kata dia, kunjungan tersebut merupakan salah satu tindak lanjut guna mempercepat proses pencatatan KIK tersebut sehingga dapat terlindungi dan diakui sebagai warisan daerah.

“KIK ini adalah untuk kemajuan daerah, kesejahteraan masyarakat. Kami menilai, bahwa Morut memiliki potensi KIK yang banyak, dan pertemuan ini menjadi upaya kita bersama agar melindungi warisan budaya kita,” ungkapnya.

Eli Sudrajab pun mengaku bersyukur atas kunjungan tersebut, ia menilai bahwa komitmen dalam melindungi warisan budaya mesti digaungkan oleh seluruh lintas sektor, khususnya perlindungan hukum agar tidak diklaim oleh daerah ataupun negara lain.

Ia menambahkan bahwa saat ini terdapat potensi KIK yang tengah mendapat perhatian dunia berupa ritual Momata atau ritual adat kematian dan ritual Momago atau ritual pengobatan serta Mowue atau upacara pesta rakyat setelah panen, yang ketiganya berasal dari adat istiadat suku Taa.

“Kita sangat senang, bisa bersinergi bersama, apalagi saat ini terdapat potensi KIK yang menjadi perhatian dunia, banyak wisatawan yang penasaran dengan tradisi yang dimiliki oleh suku taa disini, dan hal itu harus kita lindungi bersama,” ujarnya.

Dalam pertemuan itu, tim Kanwil Sulteng pun turut melakukan pendampingan pencatatan ketiga KIK tersebut, serta turut membahas berbagai proses pengumpulan pemenuhan data dukung pada potensi KIK lainnya yang telah terinventaris seperti kesenian musik, tarian, hingga makanan tradisional.

Sebagai fasilitator di wilayah, dibawah kepemimpinan Hermansyah Siregar, Herry pun menyampaikan bahwa pada bulan Maret mendatang, Kanwil Kemenkumham Sulteng bersama DJKI akan mengadakan suatu pertemuan tingkat daerah, yang tujuannya adalah untuk meningkatkan pencatatan KIK.

“Tanpa adanya kolaborasi dan koordinasi secara komprehensif, tidak aka nada kemajuan bagi daerah kita, kedepan kita akan duduk bersama kembali untuk lebih meningkatkan pencatatan KIK didaerah ini, semoga saja bisa berjalan lancar,” pungkas Herry.

Dikutip dari halaman Web Aliansi Maysrakat Adat Nusantara bahwa kebaradaan Suku Taa berada di Gunung Bente Bae merupakan benteng besar bekas penjajahan Belanda. Lokasinya sangat jauh. Kita butuh waktu dua jam perjalanan untuk sampai ke benteng besar ini.

Jalan terdekat bisa ditempuh melalui desa Lemo, Kecamatan Bungku Utara, Kabupaten Morowali Utara, Sulawesi Tengah.

Di tempat ini, kita akan menemukan sebuah Desa Salubiro yang dihuni oleh Suku Taa Wana. Desanya berada diketinggian 550 MDPL.

Untuk bisa sampai ke desa Salubiro, kita perlu tenaga extra karena area jalanan yang dilewati begitu ekstrem, penuh batu cadas. Kita juga harus melewati 20 anak sungai kecil dan besar. Bahkan, kendaraan roda empat (mobil) tidak mampu menembus desa ini. Hanya kendaraan roda dua yang bisa menembusnya.

Masyarakat Adat Suku Taa Wana tidak terlepas dari tradisi. Syukurnya, tradisi dan budaya Suku Taa Wana masih tetap terjaga kelestariannya hingga saat ini. Misalnya, tradisi panen raya atau biasa disebut Pra yang dilaksanakan setahun sekali. Tradisi panen raya ini biasanya ditandai dengan potong ayam atau potong babi, kemudian darahnya disemburkan ke lumbung padi sebagai bentuk rasa syukur.

Kemudian, ada juga tradisi Nia atau pengobatan dalam bentuk ritual Momago. Sebelum tradisi NIA dilaksanakan, biasanya ada makan bersama. Kemudian, gong dan gendang dimainkan dengan diiringi tari-tarian.

Selain itu, Suku Taa Wana juga punya tradisi orang meninggal. Setelah prosesi penguburan jenazah, ada dibuatkan acara yang diberi nama Mata.

Mata ini acara duka. Keluarga yang ditinggalkan membuat rumah dari kayu yang jauh dari pemukiman. Selanjutnya, makan bersama dan melantunkan pantun-pantun semalam suntuk. Setelah waktu menunjukan pukul 04.00 atau 05.00 pagi, rumah kayu tersebut dicincang dengan sebilah parang sampai rata dengan tanah sambil berteriak, menangis sebagai bentuk rasa kehilangan.

Selanjutnya, Suku Taa Wana juga punya tradisi menolak bala atau biasa disebut Mantambo Uba. Tradisi ini dilakukan ketika hama menyerang tanaman, maka Masyarakat Adat Suku Taa Wana akan berdiri di ujung jalan kampung dengan niatan agar hama tersebut menjauh dari perkebunan mereka.