Palu,truestory.id – Persoalan rencana pembangunan jetty oleh perusahaan tambang kembali menuai penolakan dari masyarakat pesisir. Nelayan di Kelurahan Taipa, Kecamatan Palu Utara, menegaskan sikap mereka untuk menolak proyek tersebut dalam pertemuan yang digelar bersama DPRD Kota Palu, Minggu (28/9/2025).
Pertemuan yang berlangsung di kantor Kelurahan Taipa itu dipimpin oleh Ketua Komisi C DPRD Kota Palu, Abdurahim Nasar Al-Amri atau akrab disapa Wim. Hadir pula perwakilan PT Muzo, PT Arasmamulya, serta lurah Taipa dan lurah Mamboro Barat.
Wim menjelaskan, pertemuan kali ini digelar setelah nelayan merasa tidak dilibatkan pada kunjungan lapangan dewan beberapa waktu lalu.
“Kami hadirkan semua pihak agar persoalan bisa dibicarakan secara terbuka. Aspirasi nelayan harus didengar langsung,” ujarnya.
Isu utama yang mencuat adalah keberadaan rumah perahu nelayan di sekitar lokasi rencana jetty.
Dari 24 nelayan yang hadir, empat orang menolak kompensasi rumah perahu yang ditawarkan perusahaan. Mereka menilai ganti rugi tidak sebanding dengan risiko kehilangan akses melaut.
“Itu hak masyarakat untuk menolak. Sebab menyangkut keberlangsungan mata pencaharian mereka,” tegas Wim.
Nelayan juga menyampaikan kekhawatiran dampak jangka panjang pembangunan jetty terhadap ekosistem laut.
Menurut mereka, hilangnya rumah perahu bukan sekadar soal tempat sandar, melainkan pintu utama mencari nafkah.
“Kami menolak bukan karena nilai kompensasi, tapi karena resikonya terlalu besar bagi nelayan,” kata Ruhman, salah satu nelayan Taipa.
Selain menyoal rumah perahu, nelayan meminta perusahaan menghentikan rencana pengambilan material di sungai sebelum ada kejelasan izin resmi.
Saat ini, status izin pertambangan masih menjadi pembahasan di tingkat DPRD Provinsi Sulawesi Tengah.
Wim menyampaikan, pihaknya telah menyurat ke provinsi terkait hal ini. Ia juga mendorong masyarakat nelayan untuk bersurat langsung agar aspirasi mereka lebih kuat.
“Kalau nelayan ikut menyampaikan sikap ke provinsi, tentu suaranya lebih jelas terdengar,” katanya.
Ruhman seorang nelayan menegaskan, mereka tidak menolak pembangunan secara keseluruhan, melainkan proyek yang berpotensi merugikan masyarakat pesisir.
Mereka menuntut agar pemerintah dan perusahaan benar-benar mempertimbangkan dampak lingkungan serta keberlanjutan ekonomi nelayan sebelum mengambil keputusan.