DAMPAKNYA, tak hanya menghancurkan ekosistem secara perlahan, tetapi juga mengorbankan kesejahteraan masyarakat demi keuntungan segelintir cukong yang mendalangi praktik ilegal dari aktivitas Pertambangan Emas Tanpa Izin () yang semakin marak di sejumlah wilayah Sulawesi Tengah (Sulteng).

Hal itulah yang membuat reaksi keras datang dari pegiat lingkungan, akademisi, hingga aparat penegak hukum.

Kegiatan ilegal ini dianggap memberikan dampak buruk dari berbagai sisi, mulai dari kerusakan ekologi hingga kerugian ekonomi yang dirasakan daerah dan negara.

Di beberapa titik, seperti Kelurahan Poboya dan Kelurahan Tondo di Kota , telah mengubah lanskap lingkungan secara signifikan.

Dari data yang dihimpun, lahan yang digunakan untuk PETI di kedua kelurahan tersebut mencapai total 10,5 hektar, tersebar di empat lokasi berbeda.

Aktivitas ini tidak hanya mengancam lingkungan, tetapi juga memberikan keuntungan ekonomi besar bagi para pelaku, meski bersifat ilegal.

Menurut Jaringan Advokasi (JATAM) Sulteng, dalam satu kali proses pemurnian, penambang dapat menghasilkan hingga 3 kilogram emas dalam jangka waktu tiga bulan.

Totalnya, dalam setahun, hasil emas dari kegiatan PETI di Poboya saja diperkirakan mencapai 12 kilogram. Jumlah tersebut cukup untuk membiayai pendidikan 10.000 anak hingga tingkat SMP.

Namun, Koordinator JATAM Sulteng, Mohammad Taufik, menegaskan bahwa keuntungan tersebut hanya dinikmati oleh para cukong yang menggerakkan aktivitas ilegal ini.

Ia berharap aparat penegak hukum dapat segera menghentikan aktivitas PETI dengan menindak tegas para cukong di baliknya.

“Penambang hanyalah pekerja yang mengikuti perintah. Jika para cukong ditangkap dan dibuat jera, maka aktivitas PETI akan berkurang,” tegas Taufik.

Ancaman Serius Bagi Ekosistem

Dampak negatif dari PETI tidak hanya berhenti pada kerugian ekonomi, tetapi juga sangat merusak lingkungan. Pakar Ekologi, Dr. Ir. Abdul Rosyid, menjelaskan bahwa PETI yang tidak mengikuti prosedur resmi telah menghancurkan ekosistem hutan dan sungai, yang menjadi rumah bagi flora dan fauna.

“Hutan yang terganggu keasriannya akan membuat hewan-hewan di dalamnya kesulitan mencari makan, yang pada akhirnya menyebabkan mereka bermigrasi atau bahkan menuju kepunahan,” ungkap Rosyid.

Lebih lanjut, aktivitas pertambangan di hulu sungai berdampak pada seluruh ekosistem sungai hingga ke laut, tempat muara sungai berakhir.

Material dan zat kimia berbahaya yang digunakan dalam proses pemurnian emas bisa mencemari air, merusak habitat biota laut, dan mengurangi populasi ikan.

Akibatnya, nelayan yang bergantung pada laut sebagai mata pencaharian akan menghadapi kesulitan besar, sementara kebutuhan hidup semakin meningkat.

Kerugian lingkungan yang ditimbulkan oleh PETI tidak bisa lagi dihitung. Menurut Rosyid, semakin luas aktivitas penambangan ilegal, semakin besar pula biaya dan waktu yang dibutuhkan untuk merehabilitasi lingkungan.

Dana untuk pemulihan lingkungan ini jauh lebih besar dibandingkan keuntungan yang dinikmati pelaku PETI.

“Rehabilitasi akibat penambangan ilegal akan membutuhkan dana yang jauh lebih besar dan waktu yang lama untuk mengembalikan lingkungan seperti semula,” tambahnya.

Ancaman Bagi Keselamatan Penambang

Di sisi lain, aktivitas PETI juga menimbulkan ancaman langsung terhadap para penambang yang terlibat.

Kabag Ops Polresta , Kompol Romy Gafur, mengingatkan bahwa penambang yang bekerja di lokasi berisiko tinggi menghadapi ancaman longsor, terutama saat musim hujan.

Menurutnya, kerusakan lahan yang diakibatkan oleh PETI membuat daerah rentan mengalami bencana, dan tak jarang merenggut nyawa para penambang.

Selain itu, Romy menyoroti kerugian finansial yang dialami oleh daerah akibat PETI, yang diperkirakan mencapai ratusan miliar rupiah.

Pendapatan dari sektor pertambangan yang seharusnya disalurkan ke kas negara dan daerah hilang karena aktivitas ilegal tersebut.

Harapan Edukasi dan Penegakan Hukum

Rosyid dan Taufik sepakat bahwa solusi dari masalah PETI tidak hanya terletak pada penegakan hukum, tetapi juga pada edukasi kepada masyarakat.

Pemerintah diharapkan dapat memberikan perhatian lebih untuk memberikan alternatif pekerjaan yang berkelanjutan dan aman bagi masyarakat setempat, sehingga tidak tergiur melakukan aktivitas pertambangan ilegal.

“Jika masyarakat diberikan pilihan yang lebih baik dan pengetahuan tentang risiko jangka panjang dari PETI, mereka tidak akan tertarik lagi melakukan kegiatan tersebut,” tutup Rosyid.

Tulisan ini Bagian dari Program Kolaborasi Liputan Jurnalis Kota Palu yang Tergabung dalam Komunitas Roemah Jurnalis