Poso,truestory.id– Masyarakat adat Pekurehua bersama dengan Solidaritas Perempuan (SP) Palu, Simpul Layanan Partisipatif (SLPP), dan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sulawesi Tengah mendesak terhadap Badan terkait pengelolaan di Desa Watutau, Kecamatan Piore, Kabupaten Poso.

Mereka menuntut pencabutan hak pengelolaan yang diberikan kepada Badan di wilayah tersebut, mengingat dampak sosial dan budaya yang ditimbulkan.

Pemerintah Indonesia melalui UU Cipta Kerja telah menyederhanakan regulasi terkait pengelolaan tanah, termasuk pembentukan Badan Bank Tanah yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 64 Tahun 2021 dan Peraturan Presiden No. 113 Tahun 2021.

Badan ini bertanggung jawab atas perencanaan, pengadaan, pengelolaan, pemanfaatan, dan pendistribusian tanah, dengan status Hak Pengelolaan yang dapat diberikan kepada instansi pemerintah, BUMN/BUMD, dan badan hukum negara.

Namun, kebijakan ini menuai kontroversi di Kabupaten Poso, khususnya di Desa Watutau dan sekitarnya. Tanah yang kini dikelola oleh Badan Bank Tanah dulunya adalah yang telah lama digunakan oleh masyarakat setempat untuk pengembalaan dan pertanian.

Selama proses HGU PT SIL, tanah tersebut sudah menjadi sorotan dan kini kembali menjadi masalah dengan penguasaan oleh Badan Bank Tanah.

Kepala Divisi Penguatan Organisasi Solidaritas Perempuan Palu, Isna Ragi menegaskan bahwa penguasaan tanah ini mengabaikan hubungan sosial-budaya masyarakat adat.

Ia menilai bahwa tindakan ini merupakan bentuk perampasan tanah yang berdampak pada perempuan dan masyarakat lokal, untuk memenuhi kepentingan investasi.

Forum Masyarakat Lamba Bersatu juga telah memprotes tindakan Badan Bank Tanah yang memasang patok di lahan pertanian dan perkebunan warga, serta melarang penggunaan tanah tanpa izin.

Mereka menuntut sosialisasi yang lebih baik dan penghentian aktivitas Bank Tanah di wilayah adat mereka.

Walhi Sulteng menggarisbawahi bahwa perjuangan masyarakat Desa Watutau dalam mempertahankan tanah adat mereka sudah berlangsung sejak tahun 2005, dengan protes terhadap HGU PT Hasfarm dan sekarang terhadap Badan Bank Tanah.

Mereka menilai bahwa tindakan ini memperburuk ketimpangan penguasaan lahan dan memperpanjang konflik agraria.

SLPP juga mencatat bahwa praktik perampasan lahan untuk kepentingan korporasi memperparah ketimpangan penguasaan tanah di Indonesia, yang berdampak pada petani kecil dan masyarakat adat.

Dalam rangka mendukung perjuangan masyarakat adat Desa Watutau, sejumlah organisasi masyarakat sipil mengajukan beberapa tuntutan, Pencabutan Hak Pengelolaan Badan Bank Tanah dan redistribusi kepada masyarakat setempat.

Pengeluaran rekomendasi pencabutan hak pengelolaan oleh pemerintah daerah dan provinsi, dengan mempertimbangkan aspek sosial, ekonomi, budaya, dan HAM.

Tindakan dari KOMNAS HAM dan Ombudsman untuk menindaklanjuti pelanggaran HAM dan melakukan pengawasan.

Uji publik oleh Badan Bank Tanah terkait proses pengelolaan tanah. Penarikan seluruh aktivitas Badan Bank Tanah di wilayah Desa Watutau hingga tuntutan tersebut dipenuhi.

Tuntutan ini bertujuan untuk memastikan keadilan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat serta mencegah konflik agraria yang lebih luas.