Di sebuah kota di Sulawesi Tengah, tepatnya di Kota Palu, aktivitas penambangan tanpa izin () telah menjadi ancaman serius bagi kehidupan masyarakat.

Di kawasan pegunungan , aktivitas ilegal ini bukan hanya berdampak pada lingkungan, tetapi juga pada sumber kehidupan utama : air bersih.

Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Sulteng, sebuah organisasi yang concern terhadap isu lingkungan dan hak masyarakat, berbicara lantang mengenai dampak dari penambangan tanpa izin yang telah berlangsung selama bertahun-tahun.

Menurut Moh. , salah satu anggota dari Departemen Pengembangan Jaringan JATAM Sulteng, aktivitas penambangan di tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga membahayakan keselamatan dan hak asasi manusia, khususnya hak atas kesehatan dan akses terhadap air bersih.

Masyarakat Kota Palu sebagian besar mengandalkan sumber air dari pegunungan Poboya melalui layanan PDAM.

Namun, penggunaan bahan kimia berbahaya seperti merkuri dan sianida dalam kegiatan telah mencemari sumber air tersebut, menjadikannya ancaman bagi ribuan yang menggantungkan hidup pada air yang mereka konsumsi setiap hari.

“Penambangan tanpa izin menggunakan alat berat seperti ekskavator dan bahan kimia beracun merupakan pelanggaran hukum yang serius dan berbahaya bagi masyarakat Kota Palu,” ujar .

Tauhid dengan tegas menyampaikan bahwa penambangan ini tidak dilakukan dengan metode aman. Beberapa titik di Poboya bahkan digali dengan metode terowongan yang rawan longsor.

Kasus longsor di Poso Tambarana beberapa bulan yang lalu, yang menelan korban jiwa, disebut sebagai bukti nyata betapa berbahayanya aktivitas ini jika dibiarkan tanpa penanganan.

Jatam Sulteng Desak dan Polda Sulteng Bertindak Tegas terhadap PETI di Poboya

Ironisnya, aktivitas PETI ini dijalankan oleh kelompok-kelompok yang mengatasnamakan masyarakat. Dengan menggunakan alat berat seperti ekskavator dan bahan kimia beracun, mereka mengambil keuntungan dari tanah tanpa memperhatikan dampak yang ditimbulkan.

Tauhid menyebut ini sebagai bentuk kejahatan serius, dan pemerintah serta aparat hukum seakan menutup mata terhadap bahaya yang mengintai warganya sendiri.

JATAM Sulteng tidak tinggal diam. Mereka mengajak untuk turut serta mendesak pihak kepolisian—baik Polres Palu maupun Polda Sulteng—untuk segera menertibkan aktivitas PETI.

“Kami mendesak aparat untuk segera menertibkan PETI dan meminta Komnas HAM membuat solusi jangka panjang untuk mengatasi ancaman merkuri dan sianida ini. Masyarakat Kota Palu harus bersatu untuk menuntut perlindungan dari pihak berwenang,” tegasnya.

Desakan ini bukan hanya soal penegakan hukum, tetapi juga soal perlindungan hak-hak dasar warga, terutama hak untuk hidup dalam lingkungan yang sehat dan aman.

Di balik semua itu, ada tuntutan lebih besar yang disuarakan oleh JATAM: pemerintah harus mulai serius memikirkan alternatif lain bagi masyarakat yang terlibat dalam penambangan tanpa izin.

Tauhid menegaskan bahwa penyediaan lapangan kerja yang sah dan berkontribusi terhadap pendapatan daerah adalah solusi jangka panjang yang perlu diambil, agar masyarakat tidak terus-menerus terjebak dalam aktivitas yang merusak lingkungan dan membahayakan kehidupan mereka sendiri.

Dengan kondisi yang semakin mendesak, JATAM mengajak seluruh warga Kota Palu untuk bersuara. Mereka menyerukan protes kepada aparat keamanan agar segera bertindak. Ancaman merkuri dan sianida yang mengintai bukan lagi sekadar isu lingkungan, tetapi soal kelangsungan hidup.